Jumat, 22 Juni 2012

MANTIQU'T THOIR

Mantiqut thoir ( Musyawarah Burung / Rembugan Manuk ) atau dalam bahasa dunianya The Conference of the Bird adalah Lembaran Kisah yang dibeberkan oleh Ulama Agung FARIDUDDIN ATTHAR, bagaikan samudra tak bertepi yang menceritakan permusyawarahan para burung dari berbagai jenis dan dari berbagai penjuru dunia yang berkumpul dalam satu majlis dalam membahas PENCARIAN TUHAN.

~

~

Alkisah berkumpullah segala macam burung di dunia ini baik yang dikenal maupun yang tidak.

Burung burung itu mau menyelenggarakan musyawarah. Mereka meyadari bahwa ternyata kerajaan burung tidak memiliki raja. Padahal tidak ada negeri manapun yang tidak beraja. Dan tidak ada suatu negeri yang mampu menyelenggarakan pemerintahan yang baik tanpa seorang raja.

Keadaan yang demikian tidak boleh dibiarkan terus. Mereka membutuhkan seorang yang kuat yang mampu melindungi mereka. Lalu tampillah burung Hudhud ke depan majlis, Berkatalah ia "Aku memiliki pengetahuan tentang Tuhan dan rahasia - rahasia ciptaannya".

ia juga bercerita bahwa sebenarnya mereka mempunyai raja sejati, bernama SIMURGH. ia tinggal di pegunungan yang tinggi dan dia raja di segala raja.



Raja ini dekat dengan mereka, tapi mereka jauh darinya. Tempat persemayamannya tidak dapat dicapai dan tiada lidah yang mampu mengucapkan namanya. Di hadapan Simurgh tergantung seratus ribu tabir cahaya dan kegelapan.

Dan di dalam kedua ini tidak ada satupun yang menyangsikan kerajaannya. Simurgh raja berkekuasaan muthlak di sebentang alam semesta. Dia bermandikan kesempurnaan, keagungan, dan kesucian.

Dia tidak membukakan dirinya sepenuhnya meskipun di tempat persemayamannya sendiri. Dan tentang hal ini tidak ada pengetahuan dan kecerdasan akal yang dapat melimputinya bahkan meraihnya.

Uraian Hudhud memikat burung burung itu. Dengan penuh semangat, musyawarah itu membicarakan keagungan raja mereka. Lalu mereka tak sabar ingin segera berangkat bersama sama mencarinya.

Tapi ketika menyadari betapa jauh dan pedihnya perjalanan nanti, mereka jadi ragu ragu. Lalu mereka merasa keberatan untuk berangkat degan dalih masing masing.

Burung Bulbul misalnya merasa tidak mungkin untuk meninggalkan tempatnya karena begitu besar hasratnya untuk menyebarkan senandung cintanya. Burung Merak enggan meninggalkan kemewahannya. Burung Rajawali tidak mau berpisah dengan raja raja di istananya.

Namun Hudhud mampu meyakinkan mereka. bahwa perjalanan menuju Simurgh adalah satu satunya jalan tujuan mereka dalam hidup meskipun amat sukar ditempuh. Dan hanya dengan cinta, segala kesukaran dapat dilalui.

Setelah burung-burung mendengarkan pembicaraan Hudhud, kepala mereka pun terkulai, dan kesedihan mencucuk-cucuk hati mereka. Kini mereka mengerti betapa sulit bagi sekepul debu seperti mereka untuk meregang busur sehebat itu. Mereka juga menyadari bahwasanya mereka adalah mahluk yang sangat lemah. Tetapi tdak ada jalan lain yang mesti dipilih. Mereka harus menemukan seorang raja yang mampu melindungi mereka dari berbagai kekurangan, kelemahan, dan ketidakberdayaan.

Begitu besar gairah mereka untuk segera menuju tempat itu. Tetapi karena kecerobohan dalam perjalanan, mereka banyak yang menempuh kesalahan sehingga banyak yang mati di tempat di saat itu. Tetapi yang lain-lain, betapa sengsaranya pun, memutuskan untuk menempuh jalan panjang itu. Bertahun-tahun mereka mengembara melintasi gunung demi gunung dan lembah demi lembah, dan sebagian besar hidup mereka mengalir lalu di perjalanan itu. Tetapi bagaimana mungkin menuturkan segala yang telah terjadi pada mereka? Perlu berjalan bersama mereka dan mengetahui kesulitan-kesulitan mereka, serta mengikuti pengembaraan-pengembaraan di jalan panjang itu; barulah kita dapat menyadari penderitaan burung-burung itu.


Pada akhirnya, hanya sejumlah kecil dari kawanan yang besar itu dapat sampai ke tempat mulia yang ditunjukkan Hudhud. Dari jumlah ribuan burung itu hampir semuanya telah lenyap.

Banyak yang hilang di lautan,

yang lain binasa di puncak gunung-gunung tinggi, disiksa dahaga;

yang lain lagi terbakar sayapnya, sedang hatinya mengering karena api matahari;

sebagian dimangsa macan dan macan tutul karena tidak hati hati,

sebagian lagi mati kecapaian di gurun-gurun dan di hutan-hutan belantara, dengan bibir kering dan tubuh kepanasan:

ada yang menjadi gila karena lemahnya akal dan pikiran

dan saling berbunuhan hanya karena sebutir jawawut;

ada pula yang karena lemah oleh penderitaan dan keletihan, jatuh di jalan dan tak kuat melanjutkan perjalanan lebih jauh lagi;

dan yang lain, bingung karena apa-apa yang mereka lihat, berhenti di tempat itu karena kesemsem dengan keindahan tempat itu, tercengang-cengang;

dan banyak, yang telah berangkat lantaran ingin tahu atau senang, tewas tanpa mendapat gambaran tentang apa yang mereka cari dalam perjalanan yang telah mulai mereka tempuh itu.

# Di dalam perjalanan hidup ini ternyata membutuhkan bekal yang banyak untuk menguatkan perjalanan yang kita lalui, dan bekal yang dibawa tiada lain adalah iman dan taqwa. dan dalam perjalanan inilah burung burung itu baru menyadari betapa pentingnya bekal hidup di dunia ini.


Karena itu, dari semua burung yang beribu-ribu itu, hanya tiga puluh saja yang dapat sampai ke tujuan perjalanan itu. Dan mereka ini pun kebingungan pula, letih, dan sedih, tak berbulu dan bersayap lagi. Tetapi kini mereka ada di muka pintu Yang Mulia, yang tak terperikan, dan yang hakikat dirinya tak terpahami – Wujud yang mengatasi pikiran dan pengetahuan makhluk. Maka memancarlah kilat kepuasan, dan seratus dunia pun terbakar-musnah dalam sekejap saja. Dan mereka pun melihat ribuan matahari, masing-masing lebih gemilang dari yang lain, ribuan bulan dan bintang, semua sama indahnya, dan melihat semua itu, mereka pun keheranan dan bergairah bagai sebutir zarrah debu, dan mereka pun berseru, “O Paduka yang lebih cemerlang dari surya! Yang membuat surya tampak bagai sebutir zarrah, bagaimana mungkin kami terlihat di muka Baduka? Ah, mengapa kami telah menanggung segala penderitaan di Jalan itu dengan begitu sia-sia? Setelah meninggalkan segalanya dan diri kami sendiri, kami kini tak mungkin mendapatkan apa yang telah kami usahakan. Di sini tak penting lagi apakah kami ada atau tidak.”


Maka burung-burung yang cemas sehingga mereka menyerupai ayam jago yang setengah mati itu tenggelam dalam putus-asa. Waktu yang lama pun berlalu. Ketika, pada saat yang baik, tiba-tiba pintu terbuka, keluarlah kepala rumah tangga keraton, salah seorang abdi keraton Seri Baginda. Ia memeriksai burung-burung itu dan mengetahui bahwa dari yang beribu-ribu itu hanya tiga puluh ekor burung itu yang tinggal.


Ia pun berkata, “Nah, wahai burung-burung, dari mana kalian datang, dan hendak mengapa kalian ke mari? Siapa nama kalian? Wahai kalian yang tak memiliki apa pun, di mana rumah kalian? Kalian disebut apa di dunia? Apa yang mungkin dilakukan dengan sekepul debu yang lemah macam kalian ini?”


“Kami datang,” kata mereka. “Untuk mengakui sang Simurgh sebagai Raja kami. Karena cinta dan damba kami terhadapnya, kami telah kehilangan akal dan kedamaian pikiran. Di masa yang sudah begitu lama berlalu, ketika kami berangkat dalam perjalanan ini, kami beribu-ribu, dan kini hanya tiga puluh yang sampai ke keraton mulia ini. Kami tak mungkin percaya bahwa Raja akan memurkai kami setelah kami mengalami segala penderitaan itu. Ah, tidak! Ia hanya akan memandang kami dengan pandangan penuh kemurahan!”


Kepala rumah tangga keraton itu menjawab, “O kalian yang risau dalam hati dan pikiran, apakah kalian ada atau tak ada di alam semesta, Raja senantiasa kekal adanya. Beribu-ribu makhluk dunia tak lebih dari semut depan pintu gerbangnya. Kalian tak lain hanya membawa keluh dan ratapan. Kalau demikian kembalilah ke tempat asal kalian, o kepul tanah yang hina!”


Mendengar itu, burung-burung itu kejang-kaku karena heran. Namun begitu, ketika mereka sadar kembali, mereka pun berkata, “Akankah Raja agung itu menolak kami begitu hinanya? Dan jika memang demikian sikapnya pada kami, tak mungkinkah ia mengubah sikap itu terhadap yang patut mendapat kemuliaan? Ingatlah Majnun yang mengatakan, ‘Jika semua orang yang tinggal di bumi ini ingin menyanyikan pujian bagiku, tak akan kuterima mereka; aku lebih senang menerima hinaan-hinaan Laila. Satu saja hinaannya bagiku lebih dari seratus pujian yang datang dari wanita lain!’”


“Kilat keagungannya akan memancar sendirinya,” kata kepala rumah tangga keraton itu, “ia akan mengangkat pikiran dari segala jiwa. Apakah gunanya bila jiwa hancur karena seratus duka? Apakah gunanya pada saat ini berada dalam keagungan atau kehinaan?”


Burung-burung, yang dibakar cinta itu, berkata, “Bagaimana mungkin kupu-kupu menyelamatkan diri dari nyala api bila ia ingin menjadi satu dengan nyala api itu? Sahabat yang kita cari akan memuaskan kita dengan memperkenankan kita menyatukan diri padanya. Bila kini kami ditolak, apakah lagi daya kami? Kami seperti kupu-kupu yang menginginkan persatuan dengan nyala lilin. Banyak yang meminta pada kupu-kupu itu agar tak mengorbankan diri begitu konyol dan demi tujuan yang sedemikian langka pula, namun kupu-kupu itu mengucapkan terima kasih pada mereka atas nasihat itu dan mengatakan pada mereka bahwa karena hatinya telah diserahkan pada nyala lilin itu buat selamanya, maka tak ada lagi yang mesti dipersoalkan.”


Setelah menguji burung-burung itu, maka kepala rumah tangga keraton itu pun membukakan pintu,

dan ketika tabir hijab kerajaan dibuka dan ketika mereka bertatap muka dengan raja, ternyata mereka tidak berbeda dengannya. dimana ketika ia menyingkapkan seratus tabir, satu demi satu, maka sebuah dunia baru di balik tabir itu tersingkap. Kini cahaya dari segala cahaya memancar, dan sekalian burung-burung itu duduk di atas masnad, sebuah tempat duduk Yang Mulia dan Agung. Kepada mereka diberikan nas, dan mereka diminta membaca itu, dan setelah membaca dan merenungkan, mereka pun dapat memahami keadaan mereka. Ketika mereka sepenuhnya merasa tenang dan terlepas dari segala apa pun, mereka menjadi sadar bahwa sang Simurgh ada di sana bersama mereka. Segala yang telah mereka perbuat dahulu terhapus. Matahari keluhuran memancarkan sinarnya, dan dalam saling merenungi wajah sesama mereka, ketiga puluh burung (si-murgh) dari dunia luar ini menatap sang Simurgh dari dunia dalam. Ini amat menakjubkan sehingga mereka tak tahu apakah mereka masih tetap mereka atau apakah mereka telah menjadi sang Simurgh. Akhirnya, dalam suasana tafakur itu, mereka menyadari bahwa mereka sang Simurgh dan bahwa sang Simurgh ketiga puluh burung itu juga. Ketika mereka menatap sang Simurgh, mereka melihat bahwa sungguh sang Simurgh yang ada di sana itu, dan ketika mereka mengarahkan pandang ke diri mereka sendiri, mereka melihat bahwa mereka sendiri sang Simurgh. Dan mengamati keduanya serempak, yaitu diri mereka sendiri dan Dia, mereka pun menyadari bahwa mereka dan sang Simurgh itu wujud yang satu dan yang itu juga. Tiada siapa pun di dunia pernah mendengar tentang sesuatu yang seperti itu.

Tiga puluh burung itu adalah Simurgh dan Simurgh adalah tiga puluh burung itu sendiri.

Kemudian mereka tenggelam dalam tafakur, dan sejenak kemudian, tanpa menggunakan kata-kata, mereka mohon pada sang Simurgh agar menyingkapkan pada mereka rahasia tentang rahasia keesaan dan kejamakan segala wujud. Sang Simurgh, juga tanpa kata-kata, memberikan jawaban ini, “Matahari keluhuranku ialah cermin. Siapa bercermin di sana melihat jiwa dan raganya, melihat semua itu sepenuhnya. Karena kalian telah datang sebagai tiga puluh burung, si-murgh, kalian pun akan melihat tiga puluh burung dalam cermin itu. Bila empat puluh atau lima puluh yang datang, tentu akan melihat sejumlah itu pula. Meskipun kalian kini telah berubah sepenuhnya, namun kalian melihat diri kalian sendiri sebagaimana keadaan kalian dahulu.


Dapatkah penglihatan seekor semut sampai ke bintang Kartika yang sayup? Dan dapatkah serangga mengangkat landasan? Pernahkah kalian melihat nyamuk mencaplok gajah? Segala yang telah kalian ketahui, segala yang telah kalian lihat, segala yang telah kalian katakan atau kalian dengar-semuanya bukan yang itu lagi. Bila kalian melintasi lembah-lembah Jalan Ruhani dan bila kalian melakukan kewajiban-kewajiban yang baik, kalian melakukan semua itu dengan kegiatanku yang menyertai kalian; dan kalian dapat melihat lembah-lembah hakikat dan kesempurnaanku. Kalian yang hanya tiga puluh burung saja, sepantasnya merasa kagum, tak sabar dan heran. Tetapi aku lebih dari tiga puluh burung. Aku hakikat sang Simurgh yang sejati itu sendiri. Maka leburkan diri kalian dalam diriku dengan jaya dan gembira, dan dalam diriku kalian akan menemukan diri kalian sendiri.”


Segera sesudah itu, burung-burung itu akhirnya meniadakan diri mereka sendiri dalam diri sang Simurgh – bayang-bayang telah lenyap dalam cahaya surya, dan begitulah adanya.


# berkata imam ghozaly dalam kitabnya ihya uluumiddin : Alloh dzat yang berdiri sendiri, yang menyendiri dengan keagungan, yang menyendiri dengan merajai kerajaan langit dan bumi, yang mempunyai keutamaan, keagungan, kekuasaan, keindahan dan kesempurnaan yang dengannya akal kebingungan dalam menyifati keagungannya, yang dengannya lisan bisu untuk menyifati kesempurnaannya, dzat yang dari makrifat sempurnanya orang 'Arif billah adalah mengakui kelemahannya dalam memahami ma'rifat itu sendiri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar